Rabu, 20 Februari 2013

Pengantar Pendidikan


BAB  I
HAKIKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA
A. Sifat hakikat manusia
1. Pengertian sifat hakikat manusia
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinspiil ( jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan.  Meskipun antara manusia dan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.
Beberapa filsuf seperti Socrates menamakan manusia itu zoon politicon ( Hewan bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke tier ( Hewan yang sakit ) yang selalu gelisah dan bermasalah.
2. Wujud Sifat hakikat manusia
Beberapa wujud sifat hakikat manusia yang tidak dimiliki oleh hewan yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan yaitu :
a. Kemampuan menyadari diri.
Kaum rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya ( akunya ) memiliki ciri khas karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain dan dengan non aku ( lingkungan fisik ) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu manusia dapat membuat jarak ( distansi ) dengan lingkungannya, baik yang berupa pribadi maupun non pribadi/ benda. Orang lain merupakan pribadi-pribadi di sekitar, adapun pohon, batu dan cuaca dan sebagainya merupakan lingkungan non pribadi. Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak ( distansi ) diri dengan akunya sendiri. Drijarkara ( Drijarkara : 138 ) menyebut kemampuan tersebut dengan istilah “meng-Aku”. Yaitu kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi yang ada pada aku, dan memahami potensi-potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan sehingga aku dapat berkembang kearah kesempurnaan diri.
b. Kemampuan bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya sendiri, dan membuat jarak antara aku dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat  menembus atau menerobos dan mengatasi batas –batas yang membelenggu dirinya. kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu.
Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini ( disini ) dan waktu ini ( sekarang), tapi dapat menembus “ ke sana” dan ke “masa depan” atapun “masa lampau”
Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi.
Dengan adanya kemampuan bereksistensi inilah pada manusia terdapat unsur kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusi bukan “ Ber-ada” seperti hewan di dalam kandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “ Meng-ada” di muka bumi ( Drijarkara, 1962: 61-63) jika seandainya pada diri manusia tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, maka manusia itu tidak lebih dari sekedar esensi belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah “ meng-ada” atau “ ber-eksistensi”. Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku infra human, dimana hewan menjadi  onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manajer terhadap lingkungannya.
c. Kata Hati
kata hati atau Conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya.Conscience ialah “ Pengertian yang ikut serta” atau pengertian yang mengikuti perbuatan. Manusia mempunyai pengertian yang menyertai tentapa apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga juga apa akibatnya bagi manusia sebagai manusia.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati adalah kemampuan manusia membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral, kata hati merupakan petunjuk bagi moral. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati. Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral yang didasari oleh hati yang tajam.

d. Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral adalah perbuatan itu sendiri.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi. Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral yang buruk atau moral yang rendah atau lazim dikatakan idak bermoral.
e. Tanggung jawab
Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apa pun yang dituntutkan, diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan.
f. Rasa kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas ( tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia.
g. Kewajiban dan hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala  yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban.
Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, yang berarti tidak seluruh hak dapat terpenuhi dan tidak segenap kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan, maka hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi-aspirasi atau  harapan-harapan yang berfungsi untuk member iarah pada segan usaha menciptakan keadilan.
h. Kemampuan menghayati kebahagiaan
Kebahagiaan tidak terletak pada keadaannya sendiri secara factual ataupun pada rangkaian prosesny, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau tiga hal yaitu : usaha, norma-norma, dan takdir
Dari tiga hal ini dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan  yaitu : kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir.
B. Dimensi-dimensi hakikat manusia serta potensi, keunikan, dan Dinamikanya
Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas yaitu,
Dimensi keindividualan
Dimensi kesosialan
Dimensi kesusilaan
Dimensi keberagaman
Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “ orang-orang”, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi, selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi.
M. J. Lavengeld mengatakan tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Bahkan dua anak kembar yang berasal dari satu telur, yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi identik.
Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. ( M.J. Lavengeld ) pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya terkandung unsure saling memberi dan menerima.

Dimensi kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istial yang mempunyai konotasi yang berbeda yaitu etiket ( Persoalan kepantasan dan kesopanan)  dan etika( persalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban. Orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidaksenangan orang lain.
Sehubunggan dengan hal tersebut ada dua pendapat yaitu
Golongan yang menganaggap bahwa kesusilan mencakup kedua-duanya. Etiket tidak usah dibedakan dari etika karena  sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan.
Golongan yang memandang bahwa etiket perlu dibedakan dari etika, karena masing-masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan.
Di dalam uraian ini kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket.
4. Dimensi keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious, sejak dahulu, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai alam semesta ini.
Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertical manusia.


C. Pengembangan dimensi hakikat manusia.
1. Pengembangan yang utuh
Tingkat keutuh perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya.
Pengembangan yang utuh dapat dilihat dari berbagai segi yaitu : wujud dimensi dan arahnya.
a. Dari Wujud dimensinya
Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagaman antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengembangan jasamniah dan rohaniah dikatakan utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara seimbang.
b. Dari Arah Pengembangan
Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dapat diarahkan kepada pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keberagaman secara terpadu.
2. Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi dialam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap.
D. Sosok Manusia Indonesia seutuhnya.
Sosok manusia Indonesia seutuhnya telah dirumuskan di dalam GBHN  mengenai arah pembangunan jangka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan didalam rangka pembangunan manusia indonesia seutuhnya. Dan pembangunan seluruh masyarakat indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar