BAB I
HAKIKAT
MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA
A.
Sifat hakikat manusia
1. Pengertian sifat hakikat manusia
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri
karakteristik, yang secara prinspiil ( jadi bukan hanya gradual) membedakan
manusia dari hewan. Meskipun antara
manusia dan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.
Beberapa filsuf seperti Socrates menamakan manusia
itu zoon politicon ( Hewan
bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke tier ( Hewan yang sakit ) yang selalu gelisah dan
bermasalah.
2. Wujud Sifat hakikat manusia
Beberapa wujud sifat hakikat manusia yang tidak
dimiliki oleh hewan yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud
menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan yaitu :
a. Kemampuan menyadari diri.
Kaum rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia
dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia.
Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia
menyadari bahwa dirinya ( akunya ) memiliki ciri khas karakteristik diri. Hal
ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain dan
dengan non aku ( lingkungan fisik ) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya
membedakan, lebih dari itu manusia dapat membuat jarak ( distansi ) dengan
lingkungannya, baik yang berupa pribadi maupun non pribadi/ benda. Orang lain
merupakan pribadi-pribadi di sekitar, adapun pohon, batu dan cuaca dan
sebagainya merupakan lingkungan non pribadi. Yang lebih istimewa ialah bahwa
manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak ( distansi ) diri dengan
akunya sendiri. Drijarkara ( Drijarkara : 138 ) menyebut kemampuan tersebut
dengan istilah “meng-Aku”. Yaitu kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi yang
ada pada aku, dan memahami potensi-potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat
dikembangkan sehingga aku dapat berkembang kearah kesempurnaan diri.
b. Kemampuan bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya sendiri, dan membuat
jarak antara aku dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai
sesuatu, berarti manusia itu dapat
menembus atau menerobos dan mengatasi batas –batas yang membelenggu
dirinya. kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang,
melainkan juga dengan waktu.
Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat
atau ruang ini ( disini ) dan waktu ini ( sekarang), tapi dapat menembus “ ke
sana” dan ke “masa depan” atapun “masa lampau”
Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang
disebut kemampuan bereksistensi.
Dengan adanya kemampuan bereksistensi inilah pada
manusia terdapat unsur kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusi bukan “
Ber-ada” seperti hewan di dalam kandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun,
melainkan “ Meng-ada” di muka bumi ( Drijarkara, 1962: 61-63) jika seandainya
pada diri manusia tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, maka
manusia itu tidak lebih dari sekedar esensi belaka, artinya ada hanya sekedar
“ber-ada” dan tidak pernah “ meng-ada” atau “ ber-eksistensi”. Adanya kemampuan
bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari
hewan selaku infra human, dimana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia
menjadi manajer terhadap lingkungannya.
c. Kata Hati
kata hati atau Conscience
of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara
hati, pelita hati, dan sebagainya.Conscience ialah “ Pengertian yang ikut
serta” atau pengertian yang mengikuti perbuatan. Manusia mempunyai pengertian
yang menyertai tentapa apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya,
bahkan mengerti juga juga apa akibatnya bagi manusia sebagai manusia.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati adalah kemampuan
manusia membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi
manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral, kata hati merupakan
petunjuk bagi moral. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata
hati yang tajam disebut pendidikan kata hati. Realisasinya dapat ditempuh
dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar orang
memiliki keberanian moral yang didasari oleh hati yang tajam.
d. Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian
yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral adalah perbuatan itu
sendiri.
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang
benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau
moral yang tinggi. Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati
yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral
yang buruk atau moral yang rendah atau lazim dikatakan idak bermoral.
e. Tanggung jawab
Tanggung jawab dapat
diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai
dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut
dilakukan, sehingga sanksi apa pun yang dituntutkan, diterima dengan penuh
kesadaran dan kerelaan.
f. Rasa kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (
tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia.
Kemerdekaan dalam arti yang
sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya bebas berbuat
sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia.
g. Kewajiban dan hak
Kewajiban dan hak adalah dua
macam gejala yang timbul sebagai
manifestasi dari manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya oleh
karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban.
Pemenuhan hak dan
pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini
mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan
kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi
dan kondisi, yang berarti tidak seluruh hak dapat terpenuhi dan tidak segenap
kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan, maka hak asasi manusia harus diartikan
sebagai cita-cita, aspirasi-aspirasi atau
harapan-harapan yang berfungsi untuk member iarah pada segan usaha
menciptakan keadilan.
h. Kemampuan menghayati
kebahagiaan
Kebahagiaan tidak terletak
pada keadaannya sendiri secara factual ataupun pada rangkaian prosesny, maupun
pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada kesanggupan menghayati
semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam
rangkaian atau tiga hal yaitu : usaha, norma-norma, dan takdir
Dari tiga hal ini dapat
disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal
yang dapat dikembangkan yaitu :
kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan
takdir.
B. Dimensi-dimensi hakikat manusia serta potensi, keunikan, dan
Dinamikanya
Ada 4 macam dimensi yang
akan dibahas yaitu,
Dimensi keindividualan
Dimensi kesosialan
Dimensi kesusilaan
Dimensi keberagaman
Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu
sebagai “ orang-orang”, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat
dibagi-bagi, selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi.
M. J. Lavengeld mengatakan
tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Bahkan dua anak kembar yang
berasal dari satu telur, yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua,
serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama,
apalagi identik.
Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir
dikaruniai potensi sosialitas. ( M.J. Lavengeld ) pernyataan tersebut diartikan
bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya, setiap
orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya terkandung
unsure saling memberi dan menerima.
Dimensi kesusilaan
Susila berasal dari kata su
dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, didalam
kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di
dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung.
Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti
menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam
istial yang mempunyai konotasi yang berbeda yaitu etiket ( Persoalan kepantasan
dan kesopanan) dan etika( persalan
kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan hak dan
kewajiban. Orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan
dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan
sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa
dirugikan sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidaksenangan
orang lain.
Sehubunggan dengan hal
tersebut ada dua pendapat yaitu
Golongan yang menganaggap
bahwa kesusilan mencakup kedua-duanya. Etiket tidak usah dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan.
Golongan yang memandang
bahwa etiket perlu dibedakan dari etika, karena masing-masing mengandung
kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan.
Di dalam uraian ini
kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket.
4. Dimensi keberagamaan
Pada hakikatnya manusia
adalah makhluk religious, sejak dahulu, sebelum manusia mengenal agama mereka
telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat
indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai alam
semesta ini.
Kemudian setelah ada agama
maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena
manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia
memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi
sandaran vertical manusia.
C. Pengembangan dimensi hakikat manusia.
1.
Pengembangan yang utuh
Tingkat keutuh perkembangan dimensi hakikat manusia
ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri
secara potensial dan kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan
pelayanan atas perkembangannya.
Pengembangan yang utuh dapat dilihat dari berbagai
segi yaitu : wujud dimensi dan arahnya.
a. Dari Wujud dimensinya
Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani,
antara dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagaman antara
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengembangan jasamniah dan rohaniah
dikatakan utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara seimbang.
b. Dari Arah Pengembangan
Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dapat
diarahkan kepada pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan
dan keberagaman secara terpadu.
2.
Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi
hakikat manusia akan terjadi dialam proses pengembangan jika ada unsur dimensi
hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya
kepribadian yang pincang dan tidak mantap.
D.
Sosok Manusia Indonesia seutuhnya.
Sosok manusia Indonesia seutuhnya telah dirumuskan
di dalam GBHN mengenai arah pembangunan
jangka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan didalam
rangka pembangunan manusia indonesia seutuhnya. Dan pembangunan seluruh
masyarakat indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar